Aku terdampar kedinginan di gurun
saat musim salju memenuhi permukaan pasir yang tadinya terasa begitu panas.
Ketika hendak meneruskan perjalanan, kakiku enggan melangkah karena tujuanku
tertutupi hamparan salju putih yang harus aku lalui dengan keadaanku saat ini.
Namun jika aku kembali, aku juga akan mengutuk diri sendiri karena begitu mudah
mengalah terhadap keadaan dan terkaan yang keluar saat pikiranku tidak
berfungsi dengan baik seperti ini. Ahhh, rasanya seluruh kabut hitam
menyelimutiku saat ini, dan aku benar-benar ingin berjalan hingga kutemukan
hujan meski dalam kedinginan. Agar aku bisa menangis dan berteriak sesuka hati
dan tidak ada satupun yang tahu, hanya aku dan Tuhan yang mengerti keadaan ini
dan aku berharap Tuhan memberikan petunjuk serta keadaan baik yang aku impikan.
Kuterawang dengan hati kecilku saat berbicara dengan Tuhan, Tuhan sedang
memberiku cobaan karena wujud sayang-Nya padaku dan akan memberikan sesuatu
yang lebih indah dari impianku saat ini, sangat jelas pikiranku sekarang tidak
mampu menggambarkan sebaik apa yang akan terjadi karena terhalang oleh selembar
kain yang bisa begitu mudah terbuai atau sebaliknya.
Saat kuberanikan kakiku untuk
melangkah meski pelan dan terasa berat hingga akhirnya aku sampai disuatu
tempat. Disini aku selalu memandang langit dengan tenang saat aku merasa
seperti ini dan ingin sendiri. Tapi kali ini, yang jauh disana semuanya hitam
dan hanya ada satu cahaya yang sudah lama aku dambakan. Yah cahaya itu, cahaya
yang selalu bisa membuatku pikiranku seperti benang yang lurus kembali meski
sebelumnya sangat kusut, seperti air yang jernih bak semula walau sebelumnya
sudah tercampur tinta hitam yang sangat
pekat, dan seperti udara segar saat pagi tiba ketika sang malam sudah
menyelesaikan tugasnya menetralkan debu dengan embun jernih yang dingin. Dan
aku terhentak, tadi aku merasa berada digurun ternyata itu hanya kiasan
pikiranku saja. Namun aku bersyukur, karena beban yang begitu berat membuat imajinasiku
sampai hingga kegurun dan merasakan dinginnya gurun saat musim salju. Bulan
malam ini begitu sempurna, sesempurna masalahku dan seputih hatiku. Mungkin
karena terlalu putih sehingga banyak mereka yang merasa iri dan terkadang tidak
menginginkan kehadiranku.
Malam semakin larut dan aku sibuk
mencari kesimpulan perdebatan dalam diamku ini. Hingga kuputuskan mengakhiri
karena anggotanya ada yang tidak mampu lagi melanjutkan topik ini. Secara paksa
walaupun sedikit menebak jawaban dan berani mengambil kesimpulan bahwa sebesar
apapun masalah yang aku hadapi saat ini aku harus tampil dan bersandiwara bahwa
aku tidak mengalami apa-apa. Semua itu kulakukan bukan karena aku seorang aktor
yang hebat hanya saja aku tidak ingin membiarkan orang yang bearti dalam
hidupku merasakan apa yang aku alami ketika aku merasa tidak kuat seperti ini. Aku
hanya ingin dikenal sebagai gadis yang selalu ceria meski tidak bisa dipungkiri
dibalik semua itu kadang terselip tetesan yang jatuh tanpa mampu aku tahan
lagi. Agar semuanya terasa sempurna aku putuskan untuk tidur karena dari tadi
mataku terasa berat.
Pagi ini aku terbangun dengan
senyum dan merasa seperti bayi yang terlahir kembali. Kubuka lembaran kertas
putih yang baru dan kututup cerita sebelumnya tadi malam. Dan itulah aku, yang
begitu mudah sedih ataupun bahagia. Sebesar apapun masalah yang aku alami bisa
saja lenyap seketika dan muncul lagi setelah lama tidak berpelukan dengannya.
Mungkin istilah kasarnya ini yang dikatakan labil dan aku tidak mau tahu itu.
Yang aku tahu, bagaimana aku harus menghadapinya dengan terus memberikan senyuman
terindah yang aku miliki.
Setelah makan sepotong roti dan
minum segelas susu tanpa banyak bicara dengan mama dan papa, aku langsung
berangkat kekantor dengan mobil kesayanganku yang seperti suamiku saja, setia
setiap saat dan menemaniku kemana aku pergi. Sampai dikantor, seperti biasa
kutebarkan senyumku untuk kehangatan dan keharmonisan disini karena walaupun
kantor ini punya papaku aku harus tetap rendah hati kepada setiap pekerja
disini. Aku ingin menjadi sosok tegas namun berhati lembut seperti papa dan berjiwa
besar seperti mama yang selalu meluangkan waktunya menjadi seorang ibu buatku
dan istri bagi papa disela kesibukannya yang menjabat sebagai direktur bank
terkemuka di negeri ini.
Lagi asyik dengan santapan
laporan seperti biasa, tiba-tiba handphoneku berdering. Kubuka dan sms dari
dia, dia yang begitu aku cinta, dia yang selalu memberikan arti dari cinta
setiap kali aku pandangi matanya, dia yang mencintaiku dengan cara sempurna,
dan dia yang mengerti akan semua yang ada pada diriku, dan dia ... dia ...
namun akhirnya dia juga yang membiarkanku tenggelam dalam lautan keruh terdalam
di samudra, dia juga mengajarkan aku bagaimana cara membenci orang yang sangat
bearti sebelumnya dalam hidupku, dan dia adalah orang berhasil membuatku
menjadi seperti ini. Aku memang terlalu bodoh, bukan karena ketulusan hati
mencintainya. Aku bodoh karena aku tidak mampu melihat siapa dia sebenarnya,
dia yang bagaikan monster bertopengkan wajah malaikat, bagaikan peri yang
memakai baju hitam, dan laksana embun yang membawa udara menyegarkan jiwa namun
meninggalkan zat yang tidak baik untuk paru manusia.
Bagaimana bisa aku bersikap
seperti tidak terjadi apa-apa ketika orang yang aku cinta dan sepertinya dia
juga tidak bisa hidup tanpaku namun akhirnya mengkhianatiku. Lebih parahnya
lagi seorang perempuan yang begitu dekat denganku yang menjadi pasangannya
untuk memainkan adegan percintaan dibelakang seorang sahabat. Mungkin masih
bisa aku maafkan jika mereka datang padaku dan menjelaskan semua cerita yang
aku simpulkan. Dan semuanya seperti menyalahkanku ketika aku memutuskan tali
pertunanganku dengannya, andai saja aku mampu menceritakan sedikit deskripsi
yang aku lihat saat malam itu. Saat aku menyaksikan sendiri bagaimana gairah
mereka mengumbar nafsu di atas ranjang itu, ranjang tempat aku dan orang yang aku
anggap sahabat bercanda ria dan mengisahkan pengalaman kami, serta ranjang itu
juga yang digunakannya untuk mengambil sesosok lelaki yang telah lama
bersamaku.
Dengan menahan emosi, perlahan
kubuka dan kubaca smsnya. “Aku
minta maaf atas kejadian malam itu, dan aku mohon kembali padaku. Jika tidak
aku terpaksa menikah dengan Ria”. Hampir saja aku melemparkan
handphoneku, ya Allah dia itu manusia atau bukan. Bagaimana mungkin dia bisa
meminta sekaligus mengancamku lewat sebuah pesan. Tanpa banyak pikir, kubalas
smsnya “Seorang penghianat hanya
pantas dengan seorang pencuri, dan jangan datang kembali dalam hidupku”.
Belum sempat aku melepaskan handphone dari tanganku, balasannya datang secepat
kilat. “Ok,
aku harap kamu tidak akan menyesal dengan perkataanmu padaku”.
Menarik nafas perlahan dan kukirim balasanku “Aku tidak akan menyesal, aku hanya bersyukur bahwa Allah
masih menyayangiku dan menunjukkan siapa sebenarnya kamu, dan terima kasih
untuk semunya”. Tiba-tiba didepanku terlihat pijaran api yang sangat
banyak dan setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi.
***
Satu tahun kemudian ***
Di Restoran ini, mengingatkanku
saat-saat aku masih bersamanya. Dan sekarang aku masih duduk sendiri, sulit
bagiku melupakan kenangan indah sosok lelaki itu. Aku tersentak ketika ada yang
menegurku, sempat heran dan bertanya dalam hati. Siapa dia, jelas aku tidak
mengenal orang ini tapi kenapa dia menyapaku. “Maaf mbak, mbak salah tempat
duduk” tegurnya dengan senyum dan tanpa banyak bicara aku langsung pindah.
Kulihat dari tempat dudukku, lelaki tadi yang menegurku kenapa tidak mencari
tempat lain saja dan mengatakan tempat dudukku salah tapi kalau dilihat-lihat
orangnya lumayan cakep (efek jomblo). Tanpa mau memikirkan hal yang tidak
berguna seperti itu, mending aku makan saja pesananku yang sudah datang. Dan
ini pertama kalinya aku menyantap makanan dengan lahap semenjak kejadian itu.
Hatiku tersenyum, sebodoh itu aku dan mengingatkan diri sendiri bahwa aku
terlalu lemah. Tapi untungnya aku bisa bangkit dan tersenyum kembali meski saat
ini tidak ada seorang kekasih. Dengan umurku yang masih 23 tahun, belum bisa
dibilang perawan tua. Dan orang tuaku tidak mendesakku lagi ketika terakhir
kali aku pingsan, mungkin mereka baca sms pada saa itu.
Kini hari-hari kulalui dengan
keceriaan yang lebih dari dulu, karena meskipun aku kehilangan orang yang
pernah bearti tapi kini kepercayaan orang disekililingku telah datang kembali.
Tujuanku saat ini hanya ingin meneruskan dan membesarkan semua perusahaan papa
karena pada akhirnya semua itu pasti akan menjadi milikku. Menjadi anak tunggal
memang ada enak dan tidak enaknya, namun semua itu harus aku jalani dengan
berhati mulia.
Setelah seminggu cukup sibuk
dengan urusan perusahaan, sengaja kuluangkan waktu untuk menikmati makanan di
restoran favoritku. Mau ajak sekretaris pribadi yang kini juga telah menjadi
sahabatku setelah sekian lama tidak ada orang yang aku percayai dan kuanggap sebagai
sahabat, namun tidak kesampaian karena dia telah dijemput tunangannya. Akhirnya
seperti hari lainnya, pergi sendiri dengan wajah ceria. Dan seperti biasanya
disini aku dijamu dengan hangat karena sebagian karyawannya sudah mengenalku.
Pandanganku tertuju dipojok kanan restoran yang dulunya tempat aku dan dia
namun sekarang meja itu diduduki oleh orang lain.
Ketika memundurkan mobil kebelakang
tiba-tiba terdengar suara yang lumayan keras dan suara itu berasal dari
belakang mobilku, tanpa banyak pikir aku langsung keluar dan memeriksa
kebelakang dan dugaanku tepat memang ada yang menabrak mobilku dari belakang.
Mobil kesayangan jadi lecet membuatku begitu ingin marah kepada pelakunya
sehingga keluar kata yang tanpa bisa kutahan lagi dengan pandangan terseram
yang bisa aku keluarkan tanpa mau tau siapa lelaki didepanku “Hey kamu, gak
lihat apa didepan ada mobil kenapa terus maju ha ?”, dengan wajah senyum dia
menjawab “Maaf mbak, saya ngak sengaja. Yuk kita kebengkel sekarang dan nanti
saya yang bayar biayanya”. Huh, orang ini, kenapa dengan gampang seperti itu
minta maaf pikirku dalam hati. Namun, aku bisa sedikit meredam kemarahanku karena
dia mau bertanggung jawab tapi tiba-tiba saja keluar pertanyaan dikepalaku
“Lah, terus bagaimana aku bawa mobilku kebengkel sedangkan mobilku rusak kayak
gitu. Walaupun masih bisa jalan tapi aku ogah nyetirnya”. Dengan pandangan yang
langsung menuju kebola mataku, dia menjawab dengan lembut “Maaf atas
ketidaknyamanannya ya mbak, saya dan mbak naik taxi saja dan yang membawa mobil
kita karyawan restoran ini”. “Memangnya kamu bisa aku percaya ?” tukasku masih
dengan wajah tidak sedikitpun memberikan senyum. “InsyaAllah bisa dan ini kartu
nama saya, bisa mbak simpan” jawabnya sambil memberikan kartu namanya. Dengan
tidak melihat isi kartu nama tersebut langsung aku ambil kartu nama itu dan
kumasukkan kedalam tas. “Tapi saya ada meeting jam satu, saya gak bisa
kebengkel. Bisa saya titipkan moblinya ?” tanya dan pintaku dengan suara
sedikit melembut. “Ok” jawabnya singkat. “Oh ya, minta nomor handphonenya ya
biar nanti saya bisa menghubungi setelah mobilnya selesai di servis” tanyanya
sambil mengeluarkan handphonenya. Aku terperanjak beberapa saat ketika melihat
handphonenya yang sama persis denganku padahal setahuku handphone ini hadiah
ulang tahunku saat 23 kemarin dari papa dan papa juga sempat bilang kalau
handphone ini hanya ada dua serta yang satunya papa beli dan berikan kepada
teman dekatnya. Kenapa ada pada lelaki ini, tanyaku dalam hati.
Hari berikutnya, tepat jam
istirahat siang handphoneku berdering dan dari nomor yang tidak kukenal. Hampir
saja tidak kujawab namun terlintas dipikiranku mungkin ini dari lelaki kemarin
yang menabrak mobilku. Segera kuangkat dan kutanyakan keadaan mobilku. Sesuai
perjanjian, dia mengembalikan mobilku namun dia minta aku sendiri mengambilnya
ke restoran kemarin dan karena aku kangen banget dengan mobilku akhirnya tanpa
pikir panjang aku langsung menuju kesana. Ketika datang, aku tidak melihat
mobilku di parkiran dan tiba-tiba datang seorang pelayan yang langsung
menyuruhku masuk. Ditempat yang kupandang kemarin telah ada lelaki yang
menabrak mobilku. Saat hendak duduk dia langsung berdiri dan mengambilkan kursi
untukku, dan tanpa banyak bicara aku langsung duduk. Namun dalam hati aku
berfikir, baik juga nie cowok.
Dengan wajah heran aku bertanya,
“Anda mau ngajak makan siang atau mau mengembalikan mobil saya ? kenapa ada
makanan segala disini ?”. Tersenyum “Makan dulu, aku lapar. Oh ya, jangan resmi
gitu ngomongnya. Palingan aku lebih tua satu tahu dari kamu dan panggil saja
aku Willy” jawabnya yang langsung menyamar makanan kayak orang kelaparan yang
tidak makan 10 tahun saja. “Kamu tahu ..... “ dan belum sempat aku
menyelesaikan kalimatku dia nyuapin aku dengan sepotong sosis “Makan aja, kamu
laparkan ? “. Huuh orang ini, kalau saja aku gak suka sosis udah aku muntahin
makanan ini ke dia kutukku dalam hati. Dengan wajah manyun akhirnya aku makan
sambil diam. “Kamu kalau kayak gitu cantik” godanya kayak udah kenal lama ma
aku. Tidak aku hiraukan perkataannya dan cepat-cepat menghabiskan makanan
dihadapanku. Terselip pertanyaan dikepala, darimana orang ini tahu aku suka dan
sering makan makanan ini namun segera aku buang jauh-jauh pertanyaaan gak
penting itu karena tujuan aku kesini untuk mengambil mobilku.
Usai makan aku bertanya lagi,
“Gimana mobilku ?”. Sambil makan dia malah bertanya “Nama kamu siapa sih ?”.
Menahan emosi dan tetap saja aku menjawab “Mobilku dulu baru namaku”. Dengan
wajah dinginnya sekarang dia menjawab “Kalau gak kasih nama kamu, dikontakku
tetap aku tulis unyu-unyu”. Benar-benar langsung darah tinggi aku mendengarnya
dan dengan ketus aku menjawab “Terserah kamu, yang penting nanti hapus nomorku
setelah mobilku kamu kembaliin. Jika kamu tidak mau menghapus aku akan ganti
nomor”. Dan sekarang dengan memasang wajah polos dia memandangku seraya berkata
“Kalau dilihat dari sikapmu, gak kelihatan galaknya tapi kenapa berbeda ya ?”
sambil tertawa kecil. Narik nafas dalam-dalam, ya Allah kenapa engkau ciptakan
manusia sotoy, sok kenal dan sok akrab yang lebih parahnya gak tahu malu, serta
lebih buruknya lagi gak sopaaaaaaaaaaaaaaaaan teriakku dalam hati. Senyum
“Terserah kamu mau mikir apa, yang penting mobilku kembali seperti sedia kala”.
Dan kini baru menampakkan wajah seriusnya “Iya, pasti aku kembaliin seperti
sedia kala dan kalau perlu lebih bagus dari itu” jawabnya dengan suara pelan yang
seperti memanjakanku saja. “Heh, jangan ubah sedikitpun mobil itu. Cukup kembalikan
seperti semula” jawabku sudah tidak bisa menahan emosi. “Baik tuan purti”
jawabnya dengan senyum.
Mendekatkan kursi kesebelahku,
“Mobilnya belum kelar. Orang bengkel bilang sekitar satu minggu baru kelar”.
Benar-benar ingin menumpahkan air digelasku ke wajahnya, jika saja aku tidak
berpakaian sedikit formal hari ini mungkin itu sudah terjadi. “Untuk itu, aku
minta maaf dan selama seminggu ini aku akan menjadi sopirmu serta disetiap kita
makan aku yang bayarin” sambungnya lagi. “Haaa, kita ?” tanyaku dengan ketus.
“Yup” balasnya singkat. Karena tidak ada waktu lagi sedangkan jam ditanganku sudah
menunjukkan pukul 12.45 dan sebentar lagi aku harus meeting akhirnya aku mengalah
dan nurut saja ketika dia yang mengantarku kekantor. Sepanjang perjalanan aku
diam dan tidak menghiraukan ocehannya.
Seminggu berlalu dan sebentar
lagi aku akan merdeka karena mobilku sudah mau kembali. Sesuai perjanjian
akhirnya mobilku kembali ketanganku. Sejak saat itu, aku tidak pernah diganggu lelaki
gila kayak dia. Namun yang membuatku benci pada diri sendiri kenapa kini aku
merasa kesepian dan sedikit kangen pada lelaki itu. Tapi tetap saja aku tidak
menghubunginya karena rasa gengsiku yang terlalu besar. Dalam sebulan tiap hari
aku makan di restoran seperti biasa berharap dapat melihatnya ditempat duduk
itu namun dia menghilang begitu saja tanpa jejak. Kini aku menyalahkan diri
sendiri kenapa waktu itu aku begitu jutek padanya. Lelaki mana yang tahan
dengan wanita seperti itu padahal jelas ini sangat bertolak belakang dengan
sifatku sehari-hari. Dan kenapa lagi jika bersamanya aku menjadi orang super
jutek.
Malam ini, aku singgah ditaman
seperti biasa memandang bulan. Hampir jam 11 aku datang kerumah dan membuatku
sedikit takut ada orang didepan rumahku dengan jaket hitam dan motor ninja yang
tidak kukenal. Tanpa menoleh kearahnya mobilku terus melaju kedalam garasi
namun belum sempat pintu pagar kututup dia telah berdiri ditempat untuk mengunci
pagar dan menyulitkanku untuk mengunci pagar. Aku terperanjak ketika dia
membuka kaca helmnya, dan tidak bisa berkata apa-apa ketika melihat wajah itu.
Tanpa bisa memberontak seperti biasa aku langsung jatuh kepelukannya. “Aku
rindu kamu” bisiknya pelan yang membuatku tersenyum. “Ohya, hingga saat ini aku
belum tahu siapa nama kamu ?” sambungnya sambil bertanya. “Namaku Yaya” jawabku
singkat.
Semenjak saat itu, hariku semakin
ceria. Kini kesepianku sudah benar-benar hilang dan masa laluku pergi bagaikan
habis terbakar api. Lama semakin lama cinta kami semakin dalam. Namun ketika
dia hendak melamarku, tiba-tiba papa menjodohkanku. Aku benar-benar merasa
ingin mati waktu itu, selama ini aku tidak pernah membantah orang tuaku tapi
kali ini aku tidak tahu harus berbuat apa.
Hari ini, tepat ulang tahunku yang
ke 24 dan hari ini merupakan pertemuan keluargaku dan calon suami yang
dijodohkan oleh orang tuaku. Dan hari ini pertama kalinya aku menjadi anak
durhaka, pukul 00.05 a.m aku keluar rumah dan pergi bersama Willy. Kami
memutuskan untuk kawin lari. Beberapa jam di atas motor akhirnya aku dan Willy
sampai di sebuah rumah yang mungil. Desain dalamnya begitu indah, “Rumah siapa
ini dan siapa ya arsiteknya “ tanyaku pada Willy. “Rumahku, dan arsiteknya
calon suamimu ini” jawabnya dengan senyum sambil mengantarkan seduhan teh
hangat. Selama ini yang aku tahu, kalau Willy anak pemilik restoran itu. Dan oleh sebab itu dia begitu banyak tahu
makanan yang aku suka karena dia sendiri direkturnya. Namun ternyata dia juga
seorang arsitek. Dulu yang membuatku sangat tertarik pada mantan tunanganku
karena dia arsitek namun keinginanku untuk menjadi istri seorang arsitek telah
aku kubur semenjak aku memutuskan tali pertunanganku dengannya. Tapi sekarang
aku sangat bahagia, aku akan menikah dengan seorang arsitek. Meskipun
pernikahan kami tidak mendapat restu dari orang tua, aku tidak merasa bersalah
sedikitpun.
Sebulan aku tinggal bersama Willy
dirumah mungil ini dan tiap harinya aku dan dia hanya menikmati waktu dengan bersenang-senang
ditengah alam yang begitu damai ini. Niat untuk menikah kami urungkan lagi
karena kami sama-sama merasa berat hati tidak mendapat persetujuan dari orang
tua, itu sebabnya kami memutuskan untuk tinggal disini selama sebulan. Untungnya
disini ada dua kamar, dan aku bisa merasa aman bersamanya. Meskipun kami saling
mencintai tapi tidak pernah terlintas sedikitpun untuk bersama sekamar. Selama
sebulan ini, aku bisa makan dan memasak bersamanya tiap hari, merasakan sholat
bersamanya, tiap malam dibangunkannya untuk tahajud bersama dan banyak lagi
kebahagiaan kami disini yang membuatku enggan beranjak dari tempat ini.
Seperti hari lainnya, kubangunkan
dia untuk sarapan bersama. Dengan wajah manjanya, dia bangun dan langsung
menuju meja makan. “Hari ini sarapan apa sayang ?” tanyanya. “Sarapan omelet
aja ya, persediaan makanan kita mau habis nih” jawabku. “Gak makan juga gak apa-apa, yang penting aku
bersamamu selalu” sambungnya dan tersenyum padaku. “Gombal kamu” jawabku sambil
menjulurkan lidah. “Jika aku raja gombal, maka kamu orang satu-satunya yang
tahu aku rajanya” jawabnya dengan senyuman hangat padaku. “Iya iya, dan jika
kamu rajanya. Bearti aku permaisuri raja bohongan” godaku. “Aku rela berbohong
demi kamu, tapi aku tidak mampu untuk berbohong tentang perasaanku padamu”
gombalnya lagi. “Andai aja ada cloningan kamu, aku simpan satu untuk jaga-jaga
jika kamu menghianatiku” candaku padanya.”Gak perlu ada cloningan aku. Karena
aku tidak akan pernah sanggup menghianati perempuan sesempurna kamu. Namun, aku
menyiapkan reinkarnasiku agar aku bisa terus hidup bersamamu jika ragaku yang
ini dipanggil lebih dulu daripadamu” jawabnya serius. “Udah akh, yuk makan”
balasku. Tidak sanggup aku memikirkan apa yang terjadi jika dia benar-benar
dipanggil lebih dulu daripadaku.
Usai makan, kami memutuskan untuk
kembali. Apapun yang terjadi kami berjanji akan bersama dan dia juga berniat
secara langsung melamarku kepada orang tuaku. Ditengah perjalanan, aku dan
Willy mendapat musibah. Kami tabrakan dengan motor dipersimpangan tiga, aku
hanya luka biasa sedangkan Willy pingsan dan harus dibawa kerumah sakit. Kumenangis
sambil duduk disebelah ranjang yang kini Willy terdiam kaku di atasnya.
Beberapa jam kemudian orang tua Willy datang
dan langsung minta penjelasannya padaku. Untung saja mereka tidak marah dan
memaafkan kelakuan kami berdua. Selang waktu satu jam, ada yang datang dan
orang tua Willy keluar untuk menemui mereka. Mungkin mereka temannya Willy
pikirku dalam hati dan aku terus memandang Willy yang terbujur kaku dihadapanku.
Kudengar suara mama yang menenangkan mamanya Willy, yang membuatku sangat
heran. Padahal aku tidak memberitahukan kepada mereka bahwa aku disini. Ingin
sembunyi namun ada orang tua Willy didepan. Tiba-tiba mamaku kaget ketika
melihat kedalam dan melihatku yang duduk disamping Willy. Aku tidak dapat
berkata apa-apa, hanya diam yang bisa aku lakukan. Perasaan takut dan bersalah
yang memenuhi otakku saat itu.
Sambil terseyum mama masuk dan
memelukku. “Maafin aku Ma” hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan. Pelukan
mama semakin erat yang membuatku merasa sedikit tenang. “Kita tidak perlu
mempertemukan mereka, ternyata mereka sudah saling kenal ya Pak” kalimat papa yang
membuatku kaget. “Iya pak” jawab papanya Willy. Setelah menenangkanku, akhirnya
mama menjelaskan semuanya. Ternyata lelaki yang mau dijodohkan kepadaku dan
membuatku kabur bersama Willy adalah Willy sendiri. Kenapa waktu itu aku begitu
bodoh dan tidak mau bertemu dengannya. Sedangkan Willy sendiri tidak pernah
bercerita bahwa dia dijodohkan tapi dia langsung mengajakku kawin lari. Mungkin
dia tidak mau aku terluka mendengar dia dijodohkan juga. Terjawab sudah kenapa
handphoneku bisa sama dengan Willy dan ternyata teman yang papa maksud adalah
papanya Willy. Yah, bearti papanya Willy yang memberikan kepadanya.
Seminggu kemudian, akhirnya
kondisi kesehatan Willy mulai membaik. Waktu terasa begitu cepat dan kini telah
sebulan. Willy sembuh total dan dijinkan pulang. Tidak mau berlama-lama lagi,
kami menyiapkan pesta pernikahan kami. Semuanya berjalan dengan lancar. Untuk
bulan madu kami putuskan pergi ke Pulau Jeju di Korea. Akhirnya hidupku terasa
begitu sempurna karena kini telah melangkah bersama menyongsong masa depan yang
cerah dengan lelaki yang benar-benar mencintaiku dengan hati yang tulus.
The End.
Penulis : Diyah Deviyanti
The End.
Penulis : Diyah Deviyanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar